– Pemberitaan masif konflik Israel-Hamas di Gaza membuat banyak orang stres.
Belum lagi konten media sosial yang bertebaran, baik berupa visual, narasi maupun suara terkait serangan militer yang terjadi serta para korbannya.
Situasi ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mental kita, khususnya anak-anak.
American Psychological Association menyatakan, mengonsumsi berita kekerasan dan traumatis dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental termasuk soal perang.
Dr. Gail Saltz, psikiater New York Presbyterian Hospital, mengatakan konten visual adalah yang paling berbahaya.
“Gambaran visual, lebih dari apa yang Anda dengar atau baca, cenderung melekat di benak Anda seperti film. Dan itu bisa menjadi gambaran mengganggu yang tidak bisa Anda lupakan,” jelasnya, dikutip dari CNN.
Cara menjaga kesehatan mental dari banjir berita konflik Israel-Hamas
Gambaran konflik bersenjata yang terjadi di Gaza bisa mengganggu pikiran kita termasuk merusak konsentrasi dan susah tidur.
“Itu menyebabkan gairah secara keseluruhan di otak dan kemudian di tubuh,” kata Saltz.
Sistem saraf simpati bekerja dengan menganggap visual tersebut sebagai bahaya sehingga kita menjadi cemas dan gelisan.
Dalam jangka panjang, yang mungkin terjadi di tengah derasnya informasi saat ini, kondisi tersebut bisa berakhir menjadi depresi.
Beberapa orang juga lebih rentan mengalami stres akut atau PTSD akibat terpapar visual maupun narasi peperangan.
Biasanya mereka adalah orang dengan riwayat masalah kesehatan mental sebelumnya seperti gangguan kecemasan, mood swing atau adanya trauma masa lalu.
Untuk menjaga kesehatan mental kita sembari tetap memantau kabar terbaru yang dibutuhkan, Saltz membagikan sejumlah tips, antara lain:
“Pertama dan terpenting adalah membatasi asupan berita dan media sosial Anda,” katanya.
Hindari menelusuri media sosial untuk isu tersebut agar tidak memancing konten serupa.
Disarankan membatasi sumber berita pada satu atau dua media terpercaya dan mengalokasikan 30 menit saja untuk menyimak kabar terbaru.
Lakukan di siang hari agar tidak memicu gelisah sehingga tidur malam kita terganggu.
Dok. iStockphoto Ilustrasi remaja putri bersama ibunya.Isu Israel-Hamas menyebar luas sehingga mustahil anak tidak mengetahuinya sama sekali.
Jelaskan pada buah hati soal kondisinya secara objektif, sesuai usianya.
“Bicaralah dengan anak-anak Anda dan beri tahu mereka apa yang mereka tanyakan, karena apa yang mereka bayangkan bisa menjadi lebih buruk, bahkan menakutkan jika Anda tidak pintar,” kata Saltz.
Tidak harus bersikap terang-terangan tapi orangtua wajib berkata jujur.
Ajari anak mengidentifikasi sumber terpercaya untuk setiap informasi yang mereka dapatkan dan bersikap kritis.
Kenali gejala fisik dan emosional yang kita rasakan setiap kali menyimak pemberitaan Israel-Hamas.
“Perhatikan gejala yang mungkin Anda alami sehingga Anda bisa mengatasinya,” kata Saltz.
Rasa khawatir dan cemas itu wajar asal tidak mengganggu fungsi sehari-hari seperti merusak nafsu makan.
Pada anak-anak, perasaan negatif yang dirasakan mungkin bisa menghasilkan gejala yang berbeda.
“Anak-anak lebih cenderung mengalami “somatisasi” tekanan psikologis mereka,” terang Saltz.
Misalnya, kecemasan mungkin muncul dalam bentuk sakit perut atau sakit kepala.
Stres dan ketakutan memicu amigdala, bagian otak yang mengontrol respons emosional kita, untuk berperilaku tidak bijak.
Untuk mengimbanginya, lakukan hal-hal fisiologis untuk menenangkan sistem saraf seperti latihan pernapasan lima menit di pagi atau malam hari dan relaksasi otot progresif.
Perbanyakan jalan-jalan ke luar ruangan atau meditasi untuk mengurangi kecemasan fisiologis kita.
Cobalah melakukan hal yang lebih menyenangkan untuk meredakan kecemasan yang muncul.
“Lakukan hal-hal yang membuat Anda merasa lebih baik,” kata Saltz.
Unsplash.com/Katt Yukawa Ilustrasi donasi.
“Itu bisa berarti mengamati sesuatu yang positif untuk melawan beberapa hal negatif. Bisa jadi melakukan sesuatu yang membantu atau yang dirasa bermanfaat,” tambahnya.
Apa pun yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki suasana hati adalah solusi yang baik.
Bangun komunikasi dengan keluarga, teman, atau komunitas yang berpikiran sama dengan isu tersebut.
“Saya pikir semua orang merasa cukup stres saat ini,” ujar Saltz.
Penting juga lebih banyak berdiskusi dengan teman yang lebih optimis dan mampu memberikan perspektif berbeda untuk memicu semangat kita.