Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa dirinya bukanlah menteri keuangan yang suka berutang, seperti yang selama ini dikatakan oleh masyarakat. Ia memberikan bukti bahwa ia mampu menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tidak terlalu tinggi di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) setelah masa pandemi Covid-19. Selain itu, tingkat utang juga tidak melebihi 60% PDB, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Kebijakan ini sebenarnya mendapat pertanyaan dari berbagai lembaga pemeringkat utang global, karena hanya membolehkan defisit APBN di atas 3% selama tiga tahun dari 2020 hingga 2023, sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2020.
Saat itu, negara sedang menghadapi masa pandemi Covid-19, di mana ekonomi berhenti dan diperlukan pembiayaan besar untuk belanja negara dan menjaga daya beli masyarakat melalui berbagai instrumen jaring pengaman sosial.
Sri Mulyani juga menjelaskan mengapa defisit APBN harus kembali di bawah 3% dalam tiga tahun setelah pandemi Covid-19. Hal ini karena ia khawatir akan risiko negatif pelebaran defisit dalam jangka panjang, yang dapat membuat negara sulit untuk memulihkan defisit APBN karena beban bunga utang yang terus meningkat.
Kondisi ini juga telah dialami banyak negara di Amerika Latin dan Afrika, di mana mereka menghadapi krisis utang. Oleh karena itu, Sri Mulyani memberikan batasan defisit maksimal 3% dan rasio utang maksimal 60% dari PDB, yang diadopsi dari Maastricht Agreement di Uni Eropa. Hal ini terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi negara-negara anggota.
Pada tahun 2020, saat defisit APBN mencapai 6,1% dan rasio utang Indonesia terhadap PDB mencapai 41%. Namun, dengan defisit APBN per 31 Agustus 2023 sebesar 2,84% dari PDB, rasio utang terhadap PDB menjadi 37,84% atau sekitar Rp7.870,35 triliun.
Sumber: CNBC Indonesia