Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan tentang perkembangan sistem peringatan dini bencana di Indonesia. Dia juga mengungkapkan keterlambatan sistem peringatan dini dalam memberikan informasi tentang potensi gempa dan tsunami beberapa tahun yang lalu.
Dalam penjelasannya, Dwikorita mengatakan bahwa pada saat gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004, sistem peringatan dini masih belum memadai. Hanya terdapat 25-50 sensor seismograf yang digunakan. Proses pengolahan data masih dilakukan secara manual dengan menggunakan busur derajat, penggaris, pensil, dan komputer yang masih tertinggal. Hal ini menyulitkan BMKG untuk segera mengetahui posisi gempa bumi dan apakah magnitudonya berpotensi menyebabkan tsunami atau tidak.
Karena itu, BMKG kemudian membangun sistem peringatan dini yang lebih baik, khususnya untuk potensi tsunami yang disebabkan oleh gempa Megathrust. Gempa Megathrust memiliki kekuatan yang besar, seperti yang terjadi di Aceh hampir 20 tahun lalu dengan magnitudo 8,5 SR. Oleh karena itu, jaringan seismograf diarahkan ke zona Megathrust. Saat itu, BMKG belum memikirkan tentang adanya tsunami non-seismik. Yang mereka pikirkan hanyalah tsunami yang disebabkan oleh gempa Megathrust yang mematikan.
Namun, ternyata terdapat tsunami non-seismik yang terjadi di Indonesia, namun saat itu sistem peringatan dini tsunami belum siap. Kejadian tsunami di Palu menjadi pembelajaran penting tentang pentingnya sistem peringatan dini dan monitoring untuk tsunami non-seismik. Peringatan dini yang ada saat itu memberikan waktu 5-10 menit sebelum tsunami datang, namun tsunami di Palu tiba pada menit ke-2. Oleh karena itu, BMKG terus bekerja keras untuk meningkatkan teknologi dan mempercepat sistem peringatan dini agar tidak keduluan tsunami seperti yang terjadi di Palu.
Dwikorita juga mengingatkan akan pentingnya memetik pelajaran dari tragedi tsunami di Aceh 20 tahun yang lalu. BMKG bersama dengan BNPB, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan masyarakat terus bekerja sama untuk membangun kekuatan masyarakat dalam menghadapi bencana dan meningkatkan kesiapan masyarakat. Tujuan dari kerja sama ini adalah agar pada tahun 2027, 100% masyarakat di daerah rawan tsunami sudah siap dalam menyelamatkan diri demi mewujudkan Safe Ocean.
Dwikorita juga menyatakan bahwa tidak cukup hanya mengandalkan teknologi, tetapi pusatnya tetap ada di masyarakat. Menurutnya, kearifan lokal juga memiliki peran penting dalam menyelamatkan masyarakat. Sehingga dibutuhkan kerja sama antara teknologi dan kearifan lokal dalam upaya mengurangi dampak bencana yang dapat terjadi.