Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -180 Views

Dengan berbagai keputusan teladannya sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan mulia kepada generasi TNI selanjutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang paling murni.

Beliau meninggalkan TNI landasan harga diri dan kebanggaan untuk para pemimpin TNI generasi mendatang. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang yang sejati.

Keberaniannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah di Solo, yang saat itu bernama Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus mengizinkan penduduk asli Indonesia membentuk organisasi militer bela diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, pasukan ini disebut sebagai Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon sukarelawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Para komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang teguh. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik dipilih menjadi komandan kompi dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan menyatakan kesetiaan kepada republik yang baru diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, unit Sudirman secara terus-menerus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Dalam persepsi pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau begitu dihormati sehingga menjadi sosok pahlawan yang mewakili semangat perlawanan TNI yang sengit. Beliau diakui telah mendorong dan mengusir pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa melawan mereka. Hal ini merupakan pukulan telak untuk memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa-peristiwa di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapatkan rasa hormat dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pertama pada 5 Oktober 1945. Pejabat senior teratas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau menyatakan kesetiaannya kepada TNI. Beliau dianggap sebagai prajurit yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin dari semua batalyon di Jawa memberikan protes bahwa mereka tidak mau memiliki Panglima Besar yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga keutuhan dan kedamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata yang dibawa oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak ke Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang atas Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tindakan pungutan belakang Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan untuk membuktikan ketidak sahannya tindakan Belanda melalui jalur diplomatik dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima TNI pertama, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan beliau hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat dirawatnya dan pergi menemui Presiden Sukarno di awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memutuskan untuk tidak meninggalkan kota untuk melawan dan menawarkan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melancarkan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan para prajuritnya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya memperoleh keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladannya, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI berikutnya warisan yang tangguh dan mulia, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan untuk para pemimpin TNI generasi mendatang.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap yang teguh dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sadar betul bahwa ada kemungkinan besar beliau akan terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya seperti itu. Namun, beliau memilih untuk mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakan beliau meningkatkan keyakinan bawahan dan masyarakat luas di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu bukanlah apa-apa selain sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang yang sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link