Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dilaporkan marak terjadi di Bangka Belitung (Babel). Efek semakin lesunya industri timah di Bangka Belitung.Pemerintah Provinsi Bangka Belitung pun mengakui sudah mengetahui terjadinya PHK. Selain PHK, dilaporkan banyak pekerja dan karyawan yang mendapat pengumuman lisan telah dirumahkan oleh perusahaan. Disebutkan, smelter timah di Bangka Belitung kini banyak tak beroperasi lagi. Kabar ini mencuat di tengah penanganan kasus tindak pidana korupsi smelter timah, yang kini telah menjerat sejumlah tersangka.
“Sisi ketenagakerjaan pasti akan ada masalah, terutama jumlah orang yang tidak bekerja akan bertambah dan efek lainnya akan muncul,” kata Kepala Bidang (Kabid) Pengawasan Hubungan Industrial (HI) dan Jaminan Sosial (Jamsos) Disnaker Babel Agus Afandi dikutip Sabtu (20/4/2024).
Salah satu kekhawatiran akibat banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan adalah meningkatnya kriminalitas. Tak hanya itu.
Kejagung memang belum merilis berapa nilai kerugian dari praktik korupsi timah tersebut. Penetapan kerugian negara masih mengacu pada penghitungan kerusakan ekologis yang lakukan oleh pakar lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo. Angkanya fantastis, Rp 271 triliun. Terbesar dalam sejarah penyidikan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
“Kerusakan alam Babel sudah terjadi sejak peradaban timah berlangsung tahun 1711. Kok bisa kerusakan alam tersebut dibebankan ke kegiatan kerja sama tahun 2015 – 2022,” kata Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Bangka Belitung Elly Rebuin.
Ia berpendapat, pelaku tambang bekerja tidak dalam kondisi tata niaga yang jelas, tetapi carut marut. Kerja sama dengan PT Timah di akhir tahun 2018 – 2020 di mana hasil tambang rakyat dikumpulkan oleh PT Timah, diberi kompensasi dan dilebur ditempat smelter swasta lalu hasilnya logam dikirim ke PT Timah, menurut Elly adalah skema yang paling benar.
“Hasil carut-marut kembali ke negara melalui PT Timah, penambang rakyat tetap bekerja dan perekonomian Babel tetap berjalan,” jelas Elly.
Sebenarnya PT Timah dan smelter tidak bisa menerima hasil tambang timah dari masyarakat karena dianggap ilegal dan melanggar hukum. Namun hal itu harus dilakukan karena banyak wilayah konsesi IUP PT Timah dan perusahaan swasta yang ternyata tidak memiliki kandungan timah. Sebaliknya, lahan masyarakat seperti perkebunan justru menghasilkan timah meski hanya di beberapa titik.
“Di sini akhirnya transaksi terjadi, namanya masyarakat kan pragmatis butuh uang, mereka menjual hasil tambang timahnya ke swasta karena dari sisi harga bisa dua kali lipat dibanding jika menjual ke PT Timah, untuk pencatatan laporan klaimnya dari IUP konsesi perusahaan swasta tadi. Nah ini masalahnya, perlu ada revisi regulasi yang memfasilitasi,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia (Atomindo) Rudi Syahwani.
“Kalau masyarakat dilarang menambang toh itu di tanah mereka sendiri, dan aktivitas itu ada sebelum PT Timah dan swasta ada di tempat mereka. Aneh kalau masyarakat yang dikorbankan,” ujarnya.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) terus memburu barang-barang tersangka milik tersangka kasus korupsi timah Harvey Moeis dan Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) Robert Indarto untuk disita negara. Dua mobil yang disita dari suami Sandra Dewi adalah Toyota Vellfire dan Lexus. Sedangkan dua mobil yang disita dari Robert Indarto adalah Toyota Innova Zenix dan Mercedes Benz.
Ketika para tersangka memiliki barang mewah, nasib berbalik justru dirasakan oleh banyak masyarakat Bangka Belitung saat ini. Sejumlah smelter kini sudah tidak lagi beroperasi yang membuat sebagian masyarakat kehilangan mata pencaharian.