Jakarta, CNBC Indonesia – Ketegangan antara Rusia dan Ukraina dianggap oleh sebagian analis sebagai pintu menuju Perang Dunia Ketiga (PD 3). Hal ini disebabkan oleh keterlibatan beberapa negara Barat yang merupakan anggota aliansi militer NATO dalam memberikan bantuan kepada Ukraina.
Sejumlah propaganda nuklir juga telah dilontarkan oleh Moskow. Mereka menyebut senjata berbahaya tersebut akan diluncurkan jika Barat melakukan intervensi langsung di Ukraina yang mengancam wilayah Rusia.
Sejarawan militer Jenderal Sir Patrick Sanders mengungkapkan bahwa ketegangan perang ini sudah terlihat di depan mata. Beberapa analisis yang menyebut potensi kekalahan Rusia dalam jangka panjang menciptakan persepsi bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin, mungkin akan menggunakan senjata nuklir jika diperlukan.
“Negara-negara Barat hanya memiliki waktu hingga akhir dekade ini untuk bersenjata secara memadai untuk menangkal serangan Rusia di wilayah NATO yang dapat memicu serangan Rusia terhadap negara-negara NATO,” katanya kepada Daily Mail pada Jumat (12/7/2024).
Sejak awal perang, Patrick Sanders mengungkapkan bahwa propaganda Moskow telah mempersiapkan rakyat Rusia untuk menggunakan senjata nuklir. Hal ini menjadi ancaman besar bagi negara-negara NATO, terutama yang berbatasan dengan Rusia dan Ukraina seperti Lituania dan Polandia.
Seorang analis militer bulan lalu menjelaskan kepada stasiun televisi Russia-1 bahwa ‘dalam 10 atau 15 menit’ 30 hingga 40 nuklir Rusia dapat ‘membuat negara Polandia dan rakyat Polandia lenyap’.
“Sebagai seseorang yang telah menghabiskan tiga dekade meliput konflik di seluruh dunia sebagai koresponden asing sebelum menjadi sejarawan militer, saya sangat yakin bahwa dalam situasi terpojok, Putin dapat melakukan segala sesuatu,” tambahnya.
Rusia terus berperan dalam panggung global di tengah tekanan yang ditujukan ke negaranya dari kelompok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS). Saat ini, Kremlin terus memperkuat aliansinya dengan Iran, India, dan China.
China minggu ini mengirim pasukannya ke wilayah Belarus, yang merupakan proksi dan satelit Rusia. Hal ini dilakukan untuk ikut dalam latihan terorisme bersama setelah Minsk resmi menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO).
Pada saat yang sama, Perdana Menteri India Narendra Modi, pemimpin negara demokrasi terbesar di dunia dan tradisional merupakan sahabat Barat, menyambut Putin dengan hangat ketika ia tiba di Rusia untuk kunjungan kenegaraan dua hari. Momen ini membuat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kesal.
“Putin percaya bahwa negara-negara demokrasi tidak bisa bertahan lama, dan konsensus kasar yang telah dijaga oleh Eropa dan Amerika sejak pecahnya perang Ukraina akan runtuh dengan cepat. Dia yakin bahwa waktu berpihak padanya,” papar Patrick Sanders lagi.
Di sisi lain, Barat dinilai mulai mengalami erosi kekuasaan ketika Putin semakin percaya diri dan membangun kekuatan. Para ahli kebijakan dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, Hugh Lovatt, Editor keamanan dan pertahanan Sky News, Deborah Haynes, serta pengamat dari The Diplomat, Michael Vatikiotis, mengklaim bahwa hal ini sudah terjadi.
Setelah perang di Ukraina, Eropa mulai membahas risiko keamanan lebih serius dari sebelumnya, dengan negara-negara yang sebelumnya netral seperti Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO setelah perdebatan yang signifikan. Situasi di Gaza juga memicu perdebatan besar di Eropa.
Lovatt mengatakan bahwa konflik saat ini terjadi di dunia terpisah dan tidak saling terkait, dengan alasan ketegangan di berbagai wilayah seperti Ukraina, Timur Tengah, dan Asia-Pasifik tidak memiliki hubungan langsung. Tetapi, ia menambahkan bahwa situasi ini menimbulkan risiko besar bagi komunitas internasional, terutama bagi Inggris.
Meskipun Lovatt menyatakan bahwa konflik-konflik tersebut tidak memiliki hubungan langsung, cara para aktor berada di wilayah-wilayah yang relevan sebenarnya mencerminkan polarisasi baru di dunia,” tulis pengamat geopolitik Fatih Fuat Tuncer di kanal Daily Sabah.
Tuncer menyoroti analisis Haynes tentang perang Israel dan Gaza yang menarik Iran, yang telah memperdalam krisis dan mengubah konflik regional menjadi konflik global. Barat terus membela Israel meskipun melakukan pelanggaran hukum internasional.
Lebih lanjut, Tuncer mengutip analisis Vatikiotis yang menyatakan bahwa “tatanan berbasis aturan” yang dipimpin oleh Barat sedang melemah, dan ada ketidakpastian tentang apa yang akan menggantikannya.
“Analisis ini menyoroti perilaku tidak bertanggung jawab Israel terhadap hukum internasional dan menekankan bahwa ketidakpastian dan pengabaian aturan di arena internasional dapat menyebabkan konflik besar,” ungkap Tuncer.