Rencana Presiden Terpilih untuk meningkatkan rasio utang Indonesia hingga 50% terhadap produk domestik bruto (PDB) telah menarik perhatian sejumlah ekonom. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut dapat memicu risiko krisis.
Ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menyatakan bahwa dampak terburuk dari kenaikan utang yang tidak hati-hati dapat dilihat dari kondisi krisis di Sri Lanka. Negara tersebut kehilangan kepercayaan dari para investor sehingga surat utangnya tidak laku. Utang terus bertambah namun hanya dapat dibiayai melalui utang baru, bukan didasarkan pada kemampuan pengumpulan pajak yang efektif.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa masalah gali lubang tutup lubang utang tersebut juga dapat mengikis belanja modal pemerintah. Anggaran negara akan lebih banyak digunakan untuk membayar bunga utang daripada belanja produktif untuk pembangunan. Esther menganggap bahwa kondisi rasio utang saat ini yang berada di level 36,6% dari PDB saja sudah sulit untuk pembangunan, dan sulit membayangkan kondisi yang lebih sulit jika rasio utang mencapai 50% tanpa peningkatan penerimaan negara.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), M. Faisal, menyoroti peningkatan jumlah utang selama pandemi Covid-19. Kebijakan pelonggaran defisit selama 3 tahun telah membuat utang Indonesia membludak. Menurut Faisal, membludaknya bunga utang tersebut akan menimbulkan risiko fiskal dan ekonomi yang beragam.
Sebelumnya, rencana Presiden Terpilih, Prabowo, untuk meningkatkan rasio utang hingga 50% dari PDB telah diungkapkan oleh Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo yang juga penasihat presiden terpilih tersebut. Hashim menyatakan bahwa peningkatan rasio utang tersebut akan digunakan untuk membiayai berbagai program belanja, termasuk program makanan bergizi gratis.
Namun, Ketua Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan komitmen pemerintah terpilih terhadap batasan defisit APBN tahun 2025 sebesar 3% dari PDB. Pemerintah tetap memberi prioritas pada pengelolaan fiskal yang berkelanjutan dan hati-hati.
Dengan demikian, terdapat perbedaan pendapat terkait rencana kenaikan rasio utang Indonesia hingga 50%, dengan sejumlah ekonom mengkhawatirkan risiko krisis yang bisa terpicu akibat kebijakan tersebut.