QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -2593 Views

Para mentorku dari generasi ’45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka terhadap tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka bertambah; Kedua, Keyakinan; Ketiga, Intelektualitas, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias dalam mempelajari hal-hal di luar bidang mereka; Keempat, Humor Yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan orang-orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat pada protokol.

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya sangat beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan bimbingan dari banyak tokoh pejuang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau memilih jalan yang aman karena risikonya terlalu besar. Namun, banyak yang memilih mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan sehingga akhirnya kita bisa bebas dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ’45. Mereka adalah ‘generasi pejuang kemerdekaan’. Mereka dapat dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia.

Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak figur dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya juga bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayai oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ia memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang sama menjabat sebagai ketuanya. Saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera pergi menemui beliau dan mengembalikan mandat tersebut. Begitu pula dua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Dua pamanku meninggal dalam sebuah pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang di bawah kepemimpinan Mayor Daan Mogot berusaha merebut senjata dari sebuah pangkalan Jepang. Namun, hampir semua kadet tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk komandannya dan dua pamanku. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah pulang dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Doktor Ekonomi, yang diperolehnya dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau terlibat dalam penyelundupan getah dan kelapa keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke negara tersebut guna mendukung pasukan Indonesia. Beliau juga berperan dalam mencetak ORI, uang kertas pertama Indonesia. Pada usia 29 tahun, beliau menjadi asisten pribadi untuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah kunjungan ke Makam Pahlawan (TMP), di mana dua pamanku dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek nenek saya di hari Minggu. Kakek nenek selalu memasang tenda militer pamanku di halaman sebelum saya tiba. Hal tersebut selalu menjadi pertanda sambutan yang selalu menyambut saya.

Kakek nenek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur pamanku, tas ransel, dan helm yang mereka simpan. Bahkan seragam mereka masih terlipat rapi, dan sepatu bot mereka diletakkan di ujung tempat tidur mereka yang lain selalu bersinar. Dengan halus, kakek nenek saya menunjukkan betapa mereka menghargai dan menghormati pengorbanan terbesar yang anak-anak mereka lakukan bagi kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan negara Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang disebut-sebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk meninggikan Indonesia menjadi sebuah negara yang mandiri, dihormati, dan adil, dengan warganya yang sejahtera dan bahagia yang setara dengan negara-negara lain. Atmosfer inilah yang, tanpa disadari, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 kepada generasi berikutnya, termasuk kepada saya.

Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh di lingkungan pejuang kemerdekaan. Seringkali dulu disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan terminologi saat itu. Generasi ’45 naik ke panggung karena mereka tidak ingin dianggap lebih rendah dari anjing oleh para penjajah. Dahulu, merekakebiasaan mendengarkan frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat usaha. Bahkan pada tahun 1978, saat saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frasa ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Frasa tersebut terukir di dinding marmer di sebelah kolam renang. Namun, saat itu, tulisan tersebut tertutup lumut hijau. Rasa ingin tahu saya mendorong saya untuk perintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut tersebut. Dan untuk kejutan saya, dengan jelas terlihat: Frasa Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan lagi, adalah bahwa kami, para pribumi, diletakkan setelah anjing. Saat itu, orang Belanda menganggap anjing lebih dihargai daripada kami, penduduk asli tanah ini.

Selain tumbuh di keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung dapat berinteraksi langsung dengan tokoh-tokoh kunci dari generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulunya menjadi sekretarisnya. Suatu kali, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden ketika saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sebentar menggendong saya. Ketika masih kecil, rumah kami sering kedatangan tamu. Kemudian, saya akan memahami bahwa mereka adalah tokoh-tokoh penting yang memainkan peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun pembentukan bangsa. Begitu pula ketika saya bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya berasal dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang saya temui. Tugas terakhirnya adalah Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII/Cenderawasih, dan dia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika saya masih kadet. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Mayor Jenderal TNI Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Figur lain yang saya kenal adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Keparakadetan AKABRI. Selain itu, saya bertemu Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai staf anggota Komandan Komando Operasi Pemeliharaan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah agensi keamanan dalam negeri khusus dan berkuasa yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden Suharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Hormat), yang tugas terakhirnya adalah Pangkowilhan I dan IV. Saya juga bertemu dengan Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan jabatan terakhir Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui pelayanan saya sebagai perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Beliau kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala…

Source link