LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -174 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat membangkitkan semangat rakyat, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator berbakat. Pidatonya menandai awal perang bersejarah Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personil militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian penting dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Itu adalah pertempuran hebat antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari pemuda dan murid madrasah Surabaya, dengan Pasukan Inggris. Itu merupakan peristiwa heroik dalam pertempuran untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia yang sulit diraih.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menelan korban jiwa lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran besar, ganas ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang dikomandoi oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos di Surabaya. Saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang relawan. Ada juga geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena terlalu sedikit tersebar di kota sebesar Surabaya itu. Brigade itu lenyap sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Ini, tentu saja, mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelakunya ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Angkatan Darat Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir buntu.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak diizinkan membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua wanita dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum itu adalah pukul 18.00. Jika perintah itu tidak dipatuhi, Angkatan Darat Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menciptakan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap berperang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian menyerahkan sepenuhnya keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia merupakan bangsa besar yang mampu bertahan dari serangan militer besar oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut pada siapa pun, termasuk kekuatan besar seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh kekuatan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah hak prerogatif Gubernur Suryo sendiri untuk membuat.

Saat mendekati batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak bersifat marah. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang tersebut cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarkannya untuk bersiap-siap membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal atas orasinya yang menggugah, menghipnotis, yang dapat membangkitkan massa, nada tegas namun tenang dari Gubernur Suryo juga sama kuatnya. Pidato Gubernur Suryo bertindak sebagai ‘teriakan pertempuran’ pertama yang menandai awal pertempuran bersejarah. Kita hanya bisa membayangkan emosinya ketika dia menyampaikan pidato kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit lagi untuk dipahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Inilah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

LEBIH BAIK HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Saudara-saudari,

Pemimpin-pemimpin kita di Jakarta telah berupaya untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semuanya sia-sia. Sekarang terserah kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk membela kedaulatan bangsa kita, kita harus meneguhkan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berkali-kali kita telah menyatakan posisi kita: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Sekarang, menghadapi ultimatum Inggris, kita akan mempertahankan pendirian tersebut. Kita akan tetap teguh menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi setiap kemungkinan esok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan di tingkat bawah. Marilah kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan serta Berkah dan Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link