Berdasarkan laporan Bank Dunia yang dirilis baru-baru ini, kinerja penerimaan pajak di Indonesia, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), digambarkan sebagai salah satu yang terburuk. Meskipun kontribusi PPh Badan dan PPN terhadap total penerimaan pajak mencapai sekitar 66% pada tahun 2021, tetapi masih jauh di bawah potensinya dan relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara sejenis.
Faktor-faktor yang menyebabkan kinerja pajak tersebut rendah antara lain rendahnya tingkat kepatuhan, tarif pajak yang efektif terlalu rendah, dan basis pajak yang terbatas. Laporan Bank Dunia juga menyoroti kesenjangan kebijakan terkait dengan PPN atau VAT policy gap, dimana Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah lainnya.
Dalam hal kesenjangan kebijakan PPN, Indonesia dinilai memiliki pengeluaran yang relatif rendah untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan jasa keuangan yang biasanya tidak dikenakan pajak. Hal ini berbeda dengan negara-negara Eropa yang memiliki tingkat kesenjangan kebijakan yang lebih tinggi. Sistem keringanan pajak di Indonesia juga memiliki pengaruh terhadap kesenjangan kebijakan PPN, dengan jenis keringanan yang diterapkan termasuk pengecualian pajak masukan dan perpajakan tarif tetap.
Bank Dunia menekankan pentingnya reformasi dalam sistem pajak di Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mengurangi kesenjangan kebijakan. Reformasi tersebut dapat meliputi peningkatan tingkat kepatuhan, penyesuaian tarif pajak yang efektif, dan perluasan basis pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan. Dengan adanya evaluasi dari Bank Dunia, diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kinerja penerimaan pajak di Indonesia demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.