Lebaran pertama Indonesia setelah merdeka diperingati dengan suasana yang tidak begitu meriah pada tahun 1945. Pada hari ke-9 puasa, yang bertepatan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, situasi ketegangan masih terasa. Tentara Jepang masih berada di Indonesia untuk menjaga keamanan sebelum kedatangan pasukan sekutu. Hal ini membuat aktivitas masyarakat, termasuk perayaan Salat Idulfitri, diawasi secara ketat. Meskipun rencana untuk menggelar Salat Idulfitri di Gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur dibatalkan, tempat tersebut dianggap sebagai simbol Republik Indonesia. Presiden Soekarno juga tidak leluasa bergerak di tengah ketegangan tersebut. Bahkan, untuk menerima tamu seperti Tan Malaka, harus dilakukan secara rahasia dengan mematikan lampu di rumah untuk menghindari pengawasan tentara Jepang. Topik-topik sensitif, seperti siapa yang akan memegang estafet Indonesia jika terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta, juga dibicarakan diam-diam. Suasana tegang ini tidak hanya dirasakan saat Lebaran pertama, tapi juga dalam beberapa tahun berikutnya karena kedatangan pasukan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Baru pada tahun 1950, situasi mulai membaik dan umat Muslim Indonesia bisa merayakan Hari Raya dengan penuh kebahagiaan.
Kisah Lebaran Pertama RI: Salat Idulfitri di Gedung Proklamasi
