Setiap orang tua pasti ingin anak mulai lepas dari popok. Namun, tidak jarang muncul kekhawatiran saat anak belum juga menunjukkan tanda siap, apalagi ketika melihat anak lain seusianya sudah bisa buang air sendiri. Perasaan cemas semacam ini sangat wajar, tapi penting diingat bahwa setiap anak memiliki waktu dan proses belajar yang berbeda. Toilet training bukan semata-mata persoalan usia, tapi melainkan juga soal kesiapan fisik dan emosional. Memaksakan anak belajar terlalu dini justru bisa membuatnya merasa tertekan, bahkan menolak untuk mencoba. Maka, kuncinya adalah memperhatikan tanda-tanda kesiapan dan tidak terburu-buru.
Beberapa anak biasanya mulai menunjukkan tanda siap saat memasuki usia 18–24 bulan, namun ada juga yang baru benar-benar siap di usia tiga tahun. Beberapa sinyal yang bisa diperhatikan adalah saat anak mulai sadar saat ingin buang air, popok tetap kering selama dua jam atau lebih, tidak nyaman saat popoknya basah atau kotor, buang air di waktu yang cukup teratur, tertarik melihat orang lain menggunakan toilet, mampu menurunkan dan menaikkan celana sendiri, bisa duduk diam selama beberapa menit, dan mengerti serta bisa mengikuti instruksi sederhana. Jika sebagian besar tanda tersebut sudah terlihat, toilet training bisa mulai diperkenalkan secara bertahap.
Membiasakan anak dengan konsep dasar toilet bisa dimulai sejak dini, bahkan sebelum benar-benar memulai pelatihan. Gunakan kata-kata sederhana seperti “pipis”, “pup”, atau “toilet” dalam percakapan sehari-hari agar anak familiar. Saat anak menunjukkan tanda ingin buang air, ajak berbicara dengan lembut dan arahkan ke toilet. Ini membantu anak menghubungkan sinyal tubuhnya dengan tindakan yang tepat. Hindari memberi label negatif pada aktivitas buang air, seperti menyebutnya “jorok” atau “kotor”. Fokuskan pada pengertian bahwa tubuh memiliki cara alami untuk membuang hal yang tidak dibutuhkan.
Salah satu cara efektif untuk memperkenalkan toilet training adalah melalui potty chair. Tempatkan potty di ruangan yang sering diakses anak, tidak harus langsung di kamar mandi. Biarkan anak berinteraksi bebas dengan potty-nya, bisa dengan menghias atau sekadar duduk-duduk santai. Bahkan, bermain peran dengan boneka yang “belajar pipis” juga bisa menjadi pendekatan yang menyenangkan dan tanpa tekanan. Jika belum memiliki potty chair, saat ini tersedia banyak pilihan yang bisa ditemukan dengan mudah di berbagai platform e-commerce. Pilih model yang sesuai dengan kebutuhan anak dan pastikan bentuknya nyaman digunakan.
Keberhasilan toilet training tidak hanya bergantung pada anak, tetapi juga kesiapan orang tua. Proses ini membutuhkan kesabaran, waktu, dan konsistensi. Usahakan tidak memulai toilet training di tengah situasi yang penuh perubahan, seperti pindah rumah atau menyambut adik baru. Pastikan suasana rumah cukup tenang agar anak bisa fokus belajar dengan nyaman. Hindari memarahi atau mempermalukan, karena bisa membuat anak merasa takut atau tertekan.
Toilet training memang bukan proses yang mudah. Tapi dengan pendekatan yang penuh kasih, tanpa paksaan, dan disesuaikan dengan ritme anak, masa transisi ini bisa menjadi pengalaman yang positif dan membangun kepercayaan diri anak ke depann ya.