Saat hubungan mulai terasa semakin dekat dan serius, beberapa orang mungkin merasa keinginan untuk menarik diri. Hal ini tidak disebabkan oleh kurangnya rasa sayang, tetapi lebih karena dorongan emosional untuk menjaga jarak. Perasaan ini sering muncul tiba-tiba, ketika seharusnya hubungan beranjak ke tahap yang lebih mendalam. Fenomena ini umum terjadi, namun tidak selalu mudah dipahami. Salah satu penjelasannya adalah avoidant attachment, yaitu pola keterikatan menghindar yang berkembang sejak masa kanak-kanak.
Anak-anak dengan avoidant attachment cenderung tumbuh menjadi pribadi yang mandiri secara fisik maupun emosional. Mereka belajar bahwa menunjukkan kebutuhan emosional tidak akan mendapatkan respons yang diharapkan, sehingga mereka menahan diri untuk tidak bergantung pada orang lain. Gaya keterikatan ini juga bisa membawa dampak di masa dewasa, dengan ciri-ciri seperti menghindari kedekatan emosional, merasa pasangan terlalu clingy, lebih memilih menyelesaikan masalah sendiri, dan lain sebagainya.
Avoidant attachment biasanya berkembang ketika anak sering mengalami penolakan atau pengabaian emosional dari orang tua atau pengasuh. Hal ini mengakibatkan anak menekan keinginan untuk mendapatkan dukungan dan mengandalkan diri sendiri. Faktor seperti kurangnya pemahaman orang tua terhadap kebutuhan emosional anak, kurangnya empati, dan gaya keterikatan orang tua yang menghindar juga dapat memicu terbentuknya avoidant attachment. Anak-anak dengan gaya keterikatan ini cenderung kehilangan koneksi dengan kebutuhan emosional mereka sendiri dan belajar untuk menenangkan diri tanpa bantuan orang lain.
Studi menunjukkan bahwa avoidant attachment dapat berdampak pada kualitas hubungan di usia lanjut, dimana pria lansia dengan gaya keterikatan ini mungkin mengalami efek negatif yang lebih besar dibandingkan wanita. Oleh karena itu, penting untuk memahami fenomena avoidant attachment dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi hubungan seseorang di berbagai tahapan kehidupan.