Korut telah mengalami krisis ekonomi serius yang menyebabkan lonjakan inflasi yang drastis. Dampak dari masalah ini terasa di masyarakat, di mana harga-harga sembako dasar melonjak tajam. Bahkan, sebagian orang harus membawa tas ransel penuh uang tunai hanya untuk berbelanja. Harga telur, gula, daging babi, beras, dan minyak goreng telah melonjak hingga dua kali lipat bahkan lima kali lipat selama dua tahun terakhir. Faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan harga ini antara lain kekurangan pasokan dan depresiasi mata uang Korea Utara terhadap yuan China dan dolar AS.
Pasar melaporkan bahwa harga beberapa produk kebutuhan sehari-hari telah melambung, contohnya harga minyak bunga matahari naik hampir tiga kali lipat menjadi 75.000 won, sedangkan gula naik empat kali lipat menjadi 40.000 won. Kondisi ini membuat transaksi harian semakin sulit, di mana untuk membeli satu kilogram gula saja butuh setumpuk uang kertas 1.000 won, bahkan lebih. Situasi kekurangan pangan yang kronis juga semakin diperparah oleh ekonomi yang rapuh dan penutupan akibat Covid-19, menjadikan banyak orang berjuang untuk mendapatkan makanan di meja mereka.
Korut juga terus menderita masalah kekurangan pangan karena kurangnya lahan subur dan akses ke pupuk serta peralatan pertanian modern. Hal ini mengakibatkan sebagian orang harus mengambil tindakan ekstrem, seperti tentara Korut yang terpaksa menjual peralatan militernya untuk membeli makanan. Laporan terkait meningkatnya kekerasan dan pembunuhan di negara ini juga menjadi sorotan, menunjukkan betapa parahnya kondisi krisis yang mereka alami. Jadi, situasi ekonomi dan krisis pangan di Korut bukanlah hal yang boleh diabaikan dan memerlukan penanganan serius dari berbagai pihak termasuk lembaga internasional.