Sebuah tanah seluas dua hektar di Desa Ujung Bandar, Rantau Selatan, Labuhanbatu memiliki makna yang mendalam bagi keluarga Ramali Siregar. Namun, tanah warisan tersebut diduga ‘disulap’ menjadi milik empat perusahaan dan lima individu dengan sertifikat terbitan tahun 1995. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat yang menguntungkan para tergugat telah menimbulkan kecurigaan akan praktik mafia tanah dan mafia peradilan di daerah.
Jurtini Siregar, 66 tahun, bersama Dewan Pimpinan Pusat LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia datang ke Jakarta untuk meminta keadilan terkait perampasan tanah dan dugaan rekayasa bukti ini. Mereka menolak tunduk pada tirani sertifikat palsu dan menuntut agar masalah ini diselidiki hingga tuntas.
LSM KCBI menegaskan bahwa vonis PN Rantau Prapat telah melanggar logika hukum dengan mengabaikan bukti-bukti autentik seperti segel asli tanah produksi tahun 1982 dan dokumen sah lainnya. Mereka melihat hal ini bukan hanya sebagai sengketa agraria biasa, melainkan sebagai bagian dari sistemik pelecehan terhadap hak-hak rakyat.
Tindakan lanjut yang diambil termasuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, melaporkan ke KPK dan Komisi Yudisial, serta meminta perlindungan saksi demi keamanan keluarga korban intimidasi. Sebuah petisi publik dan koalisi sipil juga dilakukan untuk mendukung upaya penegakan hukum dan membersihkan praktik mafia agraria.
Seruan kepada negara dilakukan kepada Kementerian ATR/BPN untuk melakukan audit menyeluruh terhadap penerbitan sertifikat tahun 1995. Mahkamah Agung diminta untuk mengawasi kasus agraria yang bersifat kolusi, sementara Kapolri dan Kejaksaan Agung diminta membentuk satgas anti-mafia tanah di Labuhanbatu dan wilayah lainnya.
Kisah Ibu Jurtini adalah cerminan dari banyak korban perampasan tanah di Indonesia. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diabaikan, dan masyarakat tidak boleh kehilangan harapan bahwa hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu.