LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

by -90 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo merespons dengan teriakan yang menggema: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dirasakan dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada bulan November 1945. Dilaporkan, pidato ini disiarkan terus-menerus hingga pemuda-pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Mungkin tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai seorang juru bicara, Indonesia tidak akan menjadi bangsa merdeka seperti sekarang ini.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya bertempur dalam pertempuran sengit di dan sekitar Surabaya, yang kini populer disebut sebagai Kota Pahlawan.

Saat membaca tentang catatan sejarah hari-hari tersebut, seseorang tidak dapat tidak merasa kagum dan bangga.

Pada awal berdirinya Republik, saat Indonesia masih kekurangan persenjataan, rakyat, terutama para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman-ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.

Saat itu, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak meletakkan senjata mereka dan meninggalkan kota, Angkatan Darat Inggris akan meratakan kota tersebut dengan kekuatan besar dari tank, kapal perang, dan pesawat terbang mereka.

Kita dapat membayangkan beratnya pernyataan seperti itu. Ultimatum ini diberikan oleh sebuah tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, nenek moyang kita, di usia yang sangat muda, menolak untuk ditakuti. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang sombong tersebut.

Sebaliknya, mereka berseru ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk di hadapan mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh patut kita kagumi dan hormati. Negara-negara yang mengejek kita sebagai lemah, ketinggalan, dan malas menyaksikan bagaimana bangsa Indonesia tidak menundukkan diri melalui ancaman, intimidasi, dan kehadiran pasukan asing.

Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, Angkatan Darat Inggris membombardir Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menyebutkan kerugian lebih dari 40.000 orang. Namun arek-arek Suroboyo, para pejuang kita, menolak untuk menyerah, meskipun menderita korban yang berat. Meskipun mayat-mayat berserakan di jalanan dan selokan serta sungai berubah merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, para pemuda kita, didukung oleh semua masyarakat Surabaya, terus berjuang dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan tembakan artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya sudah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi tokoh sentral dan berpengaruh yang memimpin langsung dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau Bung Tomo seperti yang banyak orang panggil, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Pada masa mudanya, ia adalah seorang jurnalis lepas dengan surat kabar Soeara Oemoem harian, Ekspres harian, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada bulan Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Perlawanan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah awal dari keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, ia dapat mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam penyiaran orasinya yang penuh semangat untuk membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang melindungi Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo bisa dirasakan dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Surabaya pada bulan November 1945. Dilaporkan, pidato ini bahkan disiarkan terus menerus, dan tidak berhenti hingga para pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air di seluruh Indonesia, khususnya masyarakat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah membagikan pamflet dengan ancaman kepada kita semua.

Sebelum batas waktu yang mereka tentukan, kita disuruh menyerahkan senjata yang telah kita rebut dari Angkatan Darat Jepang. Mereka telah memerintahkan kita untuk datang kepada mereka dengan tangan diangkat.

Mereka sudah menginstruksikan kita untuk mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kita telah menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa orang Indonesia Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda-pemuda Aceh, pemuda-pemuda Tapanuli, dan pemuda-pemuda Surabaya sendiri, di masing-masing satuan mereka, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak tertembus. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu menghalau musuh dari segala penjuru.

Saudara-saudara, musuh-musuh kita telah menggunakan taktik yang licik. Mereka mengundang Presiden kita dan pemimpin lainnya ke Surabaya, mengharapkan kita menjadi tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Namun di saat yang sama, mereka memperkuat kekuatan mereka. Dan sekarang, inilah yang terjadi.

Para saudara dan saudari. Kami semua, orang Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Angkatan Darat Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda Surabaya, dengarkan dengan seksama.

Inilah jawaban kami. Inilah jawaban masyarakat Surabaya. Inilah jawaban pemuda Indonesia kepada kalian semua!

Hey, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kami membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian bilang kepada kami untuk membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kami di depan kalian. Kalian menyuruh kami meletakkan senjata yang kita rebut dari Angkatan Darat Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.

Kalian bilang kalian akan menghancurkan kami dengan semua kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Inilah jawaban kami:

Selama kita, banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah yang dapat kita gunakan untuk membuat sehelai kain merah putih, kami tidak akan menyerah. Kami menolak untuk menyerah kepada siapapun. Masyarakat Surabaya, bersiaplah untuk situasi yang genting ini! Namun saya peringatkan sekali lagi: Jangan menembak peluru pertama. Hanya ketika kita ditembak, barulah kami akan membalas tembakan. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kami adalah orang-orang yang sungguh-sungguh merdeka.

Dan bagi kita semua, saudara-saudari, kita lebih baik dihancurkan daripada dijajah. Moto kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau mati!

Dan kita memiliki keyakinan bahwa, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah beserta kita. Percayalah, saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Source link