Indonesia setidaknya membutuhkan produksi bioetanol sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 750.000 kiloliter (KL) per tahun, terutama apabila ingin berkontribusi pada capaian bauran Energi Baru dan Terbarukan sebesar 2%. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menilai penggunaan tebu sebagai salah satu bahan baku untuk bioetanol mempunyai prospek yang cukup bagus bagi petani tebu. Namun demikian, dengan produksi sebesar 750 ribu KL per tahun, kontribusinya terhadap bauran EBT tidak terlalu signifikan.
“Sedangkan kalau kita bicara tentang tebu tujuan pertama kita menanam tebu adalah untuk pemenuhan produksi gula kita. Sedang hari ini pun untuk pemenuhan produksi gula kita ini masih kurang terpenuhi,” kata Soemitro dalam acara Energy Corner, CNBC Indonesia, Selasa (28/11/2023).
Oleh sebab itu, menurut dia diperlukan hitung-hitungan yang serius serta penyiapan data yang valid mengenai hal ini. Misalnya seberapa besar tanaman tebu nasional yang bisa menyumbang untuk produksi bioetanol.
“Karena sebelum kita berpikir ke sana kita harus serius juga untuk mencapai swasembada gula di mana gula ini lebih juga merupakan satu kepentingan kita untuk memenuhi kebutuhan pangan kita,” ujarnya.
Ia pun mengaku siap-siap saja untuk turut mensukseskan program pemerintah. Apalagi, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
“Kita siap-siap aja tetapi harus ada sekali lagi validitas data ini berapa sih jumlah tanaman yang sekarang ada di seluruh Indonesia ini,” katanya.
Sementara, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengakui produksi bioetanol di Indonesia masih belum seperti apa yang diharapkan. Adapun, hingga saat ini produksi bioetanol di Indonesia baru sekitar 40 ribu kiloliter (KL) per tahun.
Sementara, apabila ingin berkontribusi pada bauran EBT sebesar 2%, paling tidak RI membutuhkan produksi bioetanol sekitar 750 ribu KL per tahun. “Kita mencoba untuk menaikkan produksi bioetanol itu sampai dengan 750 ribu kiloliter per tahun itu pun juga baru berkontribusi 2%,” kata Satya.
Sehingga, menurut Satya bisa dibayangkan betapa kecilnya bioetanol itu dalam kontribusinya pada bauran EBT untuk campuran BBM. Meskipun saat ini PT Pertamina (Persero) sendiri sudah memulainya dengan meluncurkan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) bernama Pertamax Green 95.
“Pertamina sudah memasukkan di dalam campuran untuk Pertamax green 95 itu tuh 50% Ron 92 45% Ron 98 dan 5% bioetanol tetapi secara keseluruhan tadi seperti yang disampaikan di depan masih sangat kecil,” ujarnya.