Lahir pada 1848 dari keluarga bangsawan, Togo Heihachiro belajar menjadi samurai sejak kecil, mengikuti jejak ayahnya. Namun, krisis internasional yang sekarang dikenal sebagai Insiden Namamugi pada tahun 1862 membawa Togo ke dunia maritim.
Pada bulan September 1862, seorang pedagang Inggris dibunuh karena tidak menghormati seorang pejabat Jepang. Angkatan Laut Kerajaan Inggris menuntut kompensasi dan pada tahun berikutnya membombardir kota pelabuhan Jepang, Kagoshima. Togo, pada usia 15 tahun, berlari ke tepi pantai untuk membuat meriam dalam usaha membela kampung halamannya.
Setahun kemudian, Togo menjadi orang pertama yang mendaftar di angkatan laut Jepang yang baru dibentuk. Dia ditugaskan jadi anak buah kapal selama perang saudara Jepang pada 1868.
Berkat keberhasilan pihaknya dalam konflik saudara, Togo dilihat sebagai seorang intelektual oleh atasannya dan dikirim ke pelatihan yang termasuk kursus bahasa Inggris. Pada 1871, Togo termasuk di antara beberapa perwira Jepang yang dikirim ke Inggris untuk mengikuti kursus Perwira Angkatan Laut.
Selama tujuh tahun dari 1871, Togo tinggal di luar negeri. Meskipun sering dihadapi dengan rasisme, Togo berhasil bertahan dan menjadi lulusan kedua terbaik di kelasnya.
Togo kembali ke Jepang pada tahun 1878 sebagai Letnan. Ia diassign di sebuah kapal Inggris yang baru dibangun untuk Angkatan Laut Jepang. Enam tahun kemudian, ia diberi komando kapalnya sendiri dan berinteraksi dengan rekan-rekan dari armada Inggris, AS, dan Jerman.
Pada 1894, Togo diberi komando sebuah kapal penjelajah pada awal Perang Tiongkok-Jepang yang pertama. Di bulan awal perang, ia berhasil menenggelamkan sebuah kapal pembawa pasukan Tiongkok yang membawa 1.000 tentara. Selama perang ini, ia juga berhasil menenggelamkan dua kapal penjelajah Tiongkok dan mendapatkan pangkat Laksamana pada akhir konflik setahun kemudian.
Tahun setelah itu, Togo diangkat sebagai kepala Akademi Angkatan Laut Jepang, kemudian menjadi Wakil Laksamana Angkatan Laut Jepang. Togo fokus membangun kapabilitas SDM AL Jepang sekaligus bertugas sebagai komandan armada tempur. Ketika Pemberontakan Boxer pecah di Tiongkok, ia memimpin upaya AL Jepang mengatasi pemberontakan.
Pada tahun 1903, Togo menjadi Panglima Tertinggi AL Jepang dan mendunia sebagai pimpinan Perang Rusia-Jepang. Walaupun kekuatan AL Jepang kalah dengan AL Rusia, Togo berhasil merintis penggunaan komunikasi radio antar-kapal dan menekankan kecepatan kapal dan persenjataan yang canggih untuk kapal-kapal perangnya.
Pada akhir pertempuran Tsushima tahun 1905, Togo menjadi pemenang perang Rusia-Jepang yang tak terbantahkan. Dari 36 kapal perang yang dikerahkan oleh Rusia, ia menenggelamkan 22 kapal; hanya 3 yang berhasil kembali ke pelabuhan Rusia. Sebaliknya, Togo hanya kehilangan tiga kapal yang lebih kecil.
Togo meninggal pada tahun 1934 di usia 86 tahun. Sejumlah negara – termasuk Inggris dan AS – mengirim kapal parade angkatan laut untuk menghormatinya di Teluk Tokyo. Salah satu pengagum terbesarnya adalah Chester Nimitz, komandan pasukan angkatan laut AS di Pasifik selama Perang Dunia Kedua.
Prabowo Subianto menyatakan bahwa ia mengagumi ketabahan dan kemampuan berstrategi Laksamana Togo. Namun, pelajaran terbesar yang ia dapatkan dari mempelajari kisah hidup Laksamana Togo adalah bagaimana, meskipun kalah jumlah ketika Jepang harus melawan Rusia, ia menerapkan strategi perang berkelanjutan sementara laksamana Rusia yang lebih konservatif terperosok dalam taktik perang konvensional. Dengan kemampuan berpikir dan bertindak di luar kebiasaan, ia menjadikan Jepang menjadi negara Asia pertama yang secara militer mengalahkan kekuatan besar Eropa.