Jakarta, CNBC Indonesia – Ambisi Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang ingin pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8% selama lima tahun masa kepemimpinannya akan sulit tercapai, jika permasalahan struktural ekonomi Indonesia tidak diperbaiki.
Karena masalah ini, selama dua periode Presiden Joko Widodo menjabat, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di sekitar 5%. Target Jokowi saat kampanye Pilpres pada 2014 tidak pernah tercapai, yaitu membuat ekonomi Indonesia tumbuh 7%.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan, stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5% disebabkan oleh ketidakjagaan daya beli masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah.
“Mengapa kita masih belum bisa tumbuh di atas 5%, masih terjebak pada angka 5%, karena kelas menengah yang seharusnya menjadi motor, karena ada multiplier backward forward di dalam negeri yang tinggi, ya karena konsumsinya berkurang,” kata Telisa dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (23/7/2024)
“Itu mempengaruhi untuk mendorong ekonomi ke depan, karena mereka secara jumlah populasi cukup banyak sekitar 50% penduduk,” tegasnya.
Seperti yang diketahui, pada tahun 2015 atau tahun pertama Jokowi efektif menjalankan pemerintahan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,8% secara tahunan atau year on year (yoy), melambat dibandingkan dengan 5,02% pada 2014, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada tahun 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kembali ke level 5,03%, kemudian pada tahun 2017 sebesar 5,07%, 2018 mencapai 5,17%, dan 2019 kembali ke level 5,02%. Pada 2020 atau saat merebaknya Pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 2,07%.
Pada 2021, ekonomi Indonesia mulai bangkit kembali dengan pertumbuhan sebesar 3,7%. Kemudian, pada 2022 naik menjadi 5,31%, dan pada 2023 hanya mampu bergerak ke level 5,05%. Pada kuartal I-2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,11%.
Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas memang ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Hingga tahun 2023, porsi konsumsi masyarakat terhadap laju pertumbuhan ekonomi mencapai 53,18%. Pada kuartal I-2024 bahkan porsinya membengkak menjadi 54,93%.
Di bawahnya, baru investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 29,31%, ekspor hanya 21,37%, konsumsi pemerintah 6,25%, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) 1,43%, dan impor minus 19,77%.
“Jadi jika kita melihat daya beli ini memang sangat penting karena konsumsi terbanyak, terutama makanan dan minuman, yang dikonsumsi berkaitan dengan industri domestik lebih banyak ditengah ke bawah ini, karena mereka juga sering berwisata di dalam negeri,” ujar Telisa.
Ketika memulai pemerintahan, Jokowi juga terbukti langsung melakukan gebrakan melalui kebijakan yang langsung memengaruhi daya beli masyarakat.
Salah satunya adalah dengan menaikkan harga BBM subsidi hingga 33,57% pada 14 November 2014. Kenaikan harga BBM langsung melonjakkan inflasi hingga 1,50% (month to month/mtm), dan pada bulan Desember tahun itu mencapai 2,46% (mtm).
Kenaikan harga tersebut membuat ekonomi Indonesia terguncang. Lonjakan harga yang terus terjadi sepanjang 2015-2022 juga membuat daya beli melemah, di tengah besarnya konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang biasanya berada di sekitar 5%, melemah menjadi 4,9% pada tahun 2017. Pada tahun tersebut, pemerintahan Jokowi juga menaikkan tarif listrik sebanyak tiga kali yakni pada Januari, Maret, dan Mei.
Kenaikan tarif listrik bersamaan dengan kebijakan kenaikan biaya penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang naik dua hingga tiga kali lipat pada Januari 2017.
Pada tahun 2019, pemerintah Jokowi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga 100%. Kenaikan iuran menjadi perdebatan karena dianggap terlalu tinggi. Pada tahun yang sama, tarif angkutan udara juga terus melonjak 40-120%. Kenaikan tarif sebenarnya sudah terjadi sejak akhir Desember 2018 tetapi tidak juga turun hingga Mei 2019.
Pada tahun 2020, ekonomi Indonesia hancur berantakan karena Pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya sejak Krisis Moneter 1997/1998, ekonomi Indonesia terkontraksi. Pembatasan mobilitas membuat angka pengangguran dan kemiskinan kembali naik.
Pada tahun 2022, pemulihan ekonomi Indonesia dan konsumsi rumah tangga menghadapi tantangan berat karena kenaikan harga BBM serta lonjakan harga bahan pangan akibat peperangan di berbagai negara dan fenomena pemanasan global. Diikuti dengan tren kebijakan suku bunga acuan bank sentral yang tinggi hingga 2024.
Hingga tahun terakhir kepemimpinannya, Jokowi masih menghadapi berbagai masalah tersebut. Bahkan potensi tekanan daya beli masyarakat semakin bertambah dengan munculnya berbagai kebijakan yang menekankan pendapatan masyarakat. Mulai dari tambahan kebijakan potongan gaji untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) hingga rencana asuransi wajib kendaraan bermotor.
Di tengah rencana kebijakan yang menekan daya beli tersebut, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Bappenas mencatat bahwa 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta. Jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 sebesar US $ 5.500 per tahun, atau setara dengan Rp 7,45 juta per bulan.
Di sisi lain, pada saat tingkat gaji masyarakat rendah, inflasi bahan pangan juga semakin menggerus pendapatan bulanan mereka di akhir kepemimpinan Jokowi.
Inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food naik sejak Januari 2024 hingga mencapai level tertinggi pada Maret 2024 sebesar 10,33%, sebelum akhirnya turun pada Juni 2024 menjadi 5,96%. Pada bulan Mei saja, inflasi bahan pangan bergejolak masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan gaji rata-rata di Indonesia.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara (ASN) pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5%, dengan catatan bahwa tidak ada kenaikan gaji ASN untuk periode 2020-2023. Sementara itu, kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada periode 2020-2024.
(arj/mij)