Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. Jakarta, CNBC Indonesia – Kinerja ekonomi Indonesia masih mencatatkan performa positif. Presiden Joko Widodo atau Jokowi pernah mengaku bangga karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terjaga di kisaran 5% secara beruntun sejak kuartal IV-2021 sebesar 5,02% hingga kuartal II-2023 sebesar 5,17%. Inflasi juga dianggap tetap berada di level yang terjaga.
Namun, kondisi ekonomi yang diklaim pemerintah sangat baik itu nampaknya tidak dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Gaji yang stagnan dan harga kebutuhan pokok yang merangkak naik membuat sebagian warga RI terpaksa menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan harian.
Hal itulah yang dialami oleh Fikri, warga Jakarta berusia 29 tahun yang bekerja sebagai satuan pengaman. Dia menceritakan dalam tiga bulan ini terpaksa mengambil tabungannya untuk menyambung hidup di akhir bulan. “Satu bulan paling enggak Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu (makan tabungan),” kata dia, dikutip Selasa (5/11/2023).
Fikri mengaku tidak tahu kenapa biaya hidupnya makin bertambah dalam 3 bulan ini. Sebab, sebelum masa sulit ini gajinya selalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, sebagian uangnya masih bisa ditabung. Yang pasti dia rasakan adalah harga-harga kebutuhan sehari-hari memang melonjak belakangan ini. “Banyak banget pengeluaran,” kata dia.
Setiap kali mengambil tabungannya, Fikri akan menambal jumlah tabungan yang tersedot itu ketika gajian. Dia bilang tindakan seperti gali lubang tutup lubang harus disetop. Maka itu, selama satu bulan ini dia memilih untuk mengambil pekerjaan sambilan sebagai pengendara ojek. “Setiap libur saya cari tambahan dari ngojek, lumayan dua hari bisa dapat Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu,” kata dia.
Kondisi tabungan masyarakat RI yang sedang tidak baik-baik saja tercermin dalam survei yang dilakukan Bank Indonesia pada Oktober 2023. Data Survei Konsumen dari Bank Indonesia per Oktober 2023 menunjukkan banyak warga Indonesia yang harus menggunakan tabungannya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. BI mencatat rasio tabungan terhadap pendapatan per Oktober 2023 turun jauh dibandingkan posisi sebelum pandemi Covid-19 atau Oktober 2019.
Pada bulan Oktober lalu, rasio simpanan terhadap pendapatan masyarakat Indonesia sebesar 15,7%. Sementara pengeluaran dan pembayaran cicilan, masing-masing 76,3% dan 8,8%. Pada bulan yang sama tahun 2019, rasio simpanan terhadap pengeluaran masyarakat di Tanah Air masih jauh lebih besar, yakni 19,8%. Pasalnya pengeluaran dan pembayaran cicilan pada periode itu sebesar 68% dan 12,2%.
Berdasarkan data BI, kelompok masyarakat dengan pendapatan Rp 4,1 juta hingga Rp 5 juta seperti Fikri yang mengalami penurunan rasio simpanan terhadap pendapatan paling dalam atau sebesar 460 basis poin (bps). Kemudian disusul oleh kelompok pendapatan Rp 2,1 juta hingga Rp 3 juta, yakni merosot 400 bps.
Imbas dari kejadian ini adalah sepanjang tahun ini simpanan masyarakat Indonesia tumbuh seret, bahkan per Oktober 2023 dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya tumbuh 3,9% secara tahunan (yoy). Mengutip data Bank Indonesia, per Oktober 2023 dana masyarakat yang dihimpun mencapai Rp 7.982,3 triliun. Bila dirinci sebanyak 63% di antaranya merupakan dana murah atau current account savings account (CASA) yang terdiri dari giro dan tabungan.
Lemahnya penempatan dana masyarakat di bank pun terlihat sangat jelas bila melihat data sepanjang tahun berjalan (ytd). Giro dan tabungan, masing-masing, mengalami kontraksi 1,3% ytd dan 1,4% ytd.
Seorang pegawai swasta bernama Abdi mengakui dalam 6 bulan ini kemampuannya untuk menabung berkurang. Jumlah uang yang bisa dia tabung secara bulanan menyusut sebanyak Rp 300 ribu. Dia meyakini penyebab hal itu adalah harga barang yang naik.
Abdi biasanya membatasi pengeluarannnya dalam satu hari hanya Rp 100 ribu. Namun, belakangan ini target tersebut selalu meleset. Duit yang keluar dari kantong Abdi setiap hari mencapai Rp 150 ribu. Dana yang dia siapkan untuk membeli kebutuhan bulanan seperti sabun dan shampo juga melonjak dari Rp 250 ribu menjadi Rp 300 ribu. “Harga barang pada naik,” ujar dia.
Meski demikian, Abdi merasa bersyukur dirinya tidak harus sampai menggunakan tabungannya untuk menutupi keperluan sehari-hari. Yang bikin dia pusing hanya ketika muncul kebutuhan dadakan. Misalnya ketika pompa di rumahnya rusak, dia harus menggunakan Rp 3 juta untuk membeli pompa baru. “Kalau konsumsi tidak (makan tabungan), tapi baru terpakai Rp 3 juta buat beli pompa baru,” kata dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai data yang dirilis Bank Indonesia tentang tabungan menunjukkan terjadi fenomena masyarakat menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup harian. Dia menduga ada penurunan pendapatan, sehingga porsi tabungan harus diambil untuk menutupi kebutuhan.
“Konsumsi ini ada primer sampai tersier. Primer ini tidak bisa dikurangi, jadi kalau kurang mau tidak mau harus ambil dari tabungan,” kata dia.
Ekonom senior Indonesia, Chatib Basri, mengatakan fenomena makan tabungan erat kaitannya dengan inflasi. Dia mengatakan pemerintah dan BI memang berhasil membuat inflasi tetap terjaga, tetapi upaya tersebut juga akan berimbas pada daya beli.
“Pemerintah tangani inflasi berhasil, tapi kita akan berhadapan dengan purchasing power mulai melemah terutama di kuartal II, III, dan IV, makanya saya bilang growth kita akan slowdown, kita gak mungkin setinggi 5% lagi,” kata Chatib Basri.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Curhat Warga: Makan Tabungan & Ngutang Demi Bertahan Hidup
(hsy/hsy)