Juru bicara dan tim ahli ekonomi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Thomas Lembong, mengkritisi pengelolaan utang luar negeri pemerintah yang didominasi dolar Amerika Serikat dan minim inovasi dengan denominasi lain seperti yen Jepang, renminbi China, dan euro Eropa. Lembong menyoroti bahwa komposisi utang luar negeri yang konservatif ini menyebabkan tekanan bunga utang yang tinggi, terutama karena dolar AS yang terus menguat. Dia mengungkapkan bahwa jika komposisi utang luar negeri lebih beragam, seperti dalam yen, renminbi, dan euro, maka rupiah akan lebih stabil.
Menanggapi kritik tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan bahwa pemerintah tengah fokus untuk meningkatkan porsi utang pemerintah dalam bentuk rupiah. Selama lima tahun terakhir, porsi utang dalam denominasi rupiah telah meningkat menjadi 72,08% dari total utang pada periode tersebut. Komposisi utang pemerintah berbeda dengan level pada tahun 2018, di mana pada tahun tersebut komposisi utang dalam bentuk dolar AS lebih tinggi. Suminto menjelaskan bahwa penggunaan utang dalam bentuk valas hanyalah sebagai pelengkap agar tidak terlalu banyak mengganggu pasar domestik. Utang dalam bentuk valas ini diprioritaskan menggunakan dolar AS karena penerimaan negara yang banyak menggunakan dolar AS dan untuk menjaga keseimbangan arus kas. Pemerintah juga melakukan optimalisasi komposisi portofolio utang dalam hal tenor, mata uang, dan suku bunga untuk mengelola risiko dan biaya secara optimal.
Terakhir, artikel tersebut memberikan informasi mengenai belanja pembayaran bunga utang pemerintah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Realisasi belanja pembayaran bunga utang pada tahun 2022 mencapai Rp 386,34 triliun atau 95,19% dari yang dianggarkan. Pada tahun 2021, belanja bunga utang meningkat sebesar 12,47% dari tahun sebelumnya. Komposisi belanja pembayaran bunga utang pada tahun 2022 didominasi oleh pembayaran bunga utang dalam negeri dan luar negeri jangka panjang.